Hisab adalah
perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi
bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah
aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit
yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat
dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik
seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal
hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas
cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta
ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah.
Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib
hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak
terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara
penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan
(visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat
berumur 29 atau 30 hari.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Hisab
2 Rukyat
3 Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
3.1 Rukyatul Hilal
3.2 Wujudul Hilal
3.3 Imkanur Rukyat MABIMS
3.4 Rukyat Global
4 Perbedaan Kriteria
5 Lihat pula
6 Referensi
7 Pranala luar
Hisab[sunting | sunting sumber]
'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab
sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi
Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting
karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat.
Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal
sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal
ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai
berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah
haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang
sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan
perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan
bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi
benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal
peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom
muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al
Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat
presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software)
yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat
dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak
terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi
sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris
terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang
sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau
disebut pula satu periode sinodik.
Rukyat[sunting | sunting sumber]
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan
bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat
dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik
seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari
pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di
ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari).
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah
memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu
antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara
ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan
masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya.
Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat
tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara
Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih
seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu
dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut
Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah[sunting | sunting sumber]
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang
berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni
umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat
Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana
terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul
Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan,
adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara
langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan
cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa
harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar
yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan
sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender)
berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan
dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut
ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan,
meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya
awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi
sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam
setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari
tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa
melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari
terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam
penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang
akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak
menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode
Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau
memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul
Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus
bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan
adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al
An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS.
Yasin: 36-40.
Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai
secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi
Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas
cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari
minimum 3°, atau
Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan
terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk
menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan
kondisi.
Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat
dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan
hisab sepakat dalam kondisi ini.
Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat
dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan
mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk
malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal
tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal
sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika
rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab
sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat
hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga
malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan
hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2
derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada
perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada
penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya
ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah
Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan
rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang
Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan
(kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari.
Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya
yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
Rukyat Global[sunting | sunting sumber]
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal,
maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki
bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia. [2].
Perbedaan Kriteria[sunting | sunting sumber]
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang
berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang
berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa
Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada
tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti
Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula
yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal
Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan
1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender
resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus
2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31
Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula
awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Hal yang sama terjadi pada tahun
2012, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20
Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh
pada tanggal 21 Juli 2012.
Namun demikian, Pemerintah Indonesia
mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan
persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta
mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
source:
id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat
www.kaskus.co.id